Senin, 15 April 2013

Meraih Sehat Secara Islami

Sehat tidak selalu identik dengan gemuk dan tidak memiliki penyakit. Bahkan kelebihan berat badan jutru menjadi penyebab munculnya penyakit, mulai dari diabetes hingga penyakit jantung dan stroke.
Penelitian yang dilakukan oleh para ahli kedokteran menyimpulan bahwa ada empat faktor yang menentukan kesehatan seseorang. Ke empat faktor tersebut adalah :
  1. Gaya hidup dan perilaku kesehatan
  2. Keturunan
  3. Kondisi lingkungan
  4. Mutu pelayanan yang tersedia
Islam sebagai agama yang paling komplit dan sempurna jika dibanding agama-agama lain, sangat besar perhatiannya terhadap kesehatan.  Kesehatan adalah rahmat Allah swt yang sangat besar nilainya dan karenanya menjadi kewajiban setiap muslim untuk menjaganya. Berikut beberapa hal yang perlu diperhatikan agar kita memiliki kesehatan prima.
Berperilaku Hidup Bersih
Kebersihan merupakan tanda dari keimanan seseorang dan Allah swt sangat mencintai orang-orang yang menjaga kebersihan.
"Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertaubat dan orang-orang yang mensucikan diri." (QS. Al Baqarah : 222)
"Kebersihan itu sebagian dari iman" (HR. Muslim)
"Islam itu bersih, maka berperilakulah bersih, sesungguhnya orang tidak akan masuk syurga kecuali dalam keadaan bersih." (HR. Ad Dailami)
Makan dan Minum Yang Halal dan Baik
Ajaran islam mengharuskan mengkonsumsi makanan dan minuman yang jelas kehalalannya dan terhindar dari keragu-raguan tentang hukumnya. "Tinggalkanlah apa-apa yang meragukan kalian kepada apa-apa yang tidak meragukan kalian." demikian sabda Nabi saw.
"Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik bagimu dari apa yang ada dibumi..." (QS. Al Baqarah : 168)
"Makan dan minumlah, dan jangan berlebih-lebihan sesungguhnya Allah tidak suka dengan orang yang berlebih-lebihan." (QS. Al A'raf : 31)

Istirahat Secukupnya
Salah satu istirahat yang baik adalah tidur, sebagaimana firman Allah swt : 
"Dan Kami telah menjadikan tidur kamu untuk istirahat." (QS. An Naba' : 9)
"Dan Dia-lah yang telah menjadikan untukmu malam sebagai pakaian dan tidur sebagai istirahat, dan Dia menjadikan siang untuk mencari nafkah." (QS. Al Furqan : 47)
Bekerja Sebatas Kemampuan
Islam melarang kita memaksakan diri mengerjakan sesuatu diluar kesanggupan kita. "Allah tidak akan membebankan seseorang melainkan sebatas kemampuannya." (QS. Al Baqarah : 286)

Menjaga Jarak  Dengan Penderita Penyakti Menular
"Orang yang sakit menular jangan dibawa mendekata orang sehat." (HR. Bukhari & Muslim)  
Segera Berobat Ketika Sakit
Semua penyakit pasti ada obatnya kecuali tua/pikun. Dalam suatu hadist disebutkan bahwa Nabi saw bersabda : "Berobatlah kamu sekalian (bila Sakit), karena sesungguhnya Allah swt tidak mendatangkan suatu penyakit kecuali mendatangkan pula obatnya, kecuali satu penyakit yaitu pikun." (HR. At Turmudzi)
Meningkatkan Stamina Tubuh
Hal ini dilakukan dengan meninggalkan apa-apa yang tidak bermanfaat bagi tubuh kita. Sabda Nabi saw : "Sebagian dari tanda sempurnanya islam seseorang adalah meniggalkan apa-apa yang tidak bermanfaat baginya." 
Membiasakan Puasa 
Manfaat puasa dari segi kesehatan, antara lain ; 
  • memperbaiki sel-sel alat penceraan 
  • akan mengurangi lemak sehingga terhindar dari penyakit darah tinggi dan stroke
  • dengan berpuasa tenaga yang dipakai akan efektif dan efisien
"Dan berpuasa itu lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui." (QS. Al Baqarah : 184)
Berolah Raga Secara Rutin
Rasulullah telah menganjurkan semua muslim berolah raga secara rutin, sebagai upaya untuk menjaga kesehatan. "Ajari anakmu (dengan olah raga) berenang, naik kuda dan memanah." (HR. Ad Dailami)
Sikap hidup yang Ikhlas, Qona'ah dan Sabar
Inilah kunci kesehatan yanb berasal dari dalam jiwa kita. Firman Allah dalam QS. Ar Ra'du ayat 28 : "Yaitu orang-orang yang beriman dan hati meraka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya mengingat Allah hati menjadi tenang."
Semoga Allah menjadikan kita orang-orang yang dikarunia kesehatan lahir dan betin. 
Ammin ya rabbal alamin

Menghalau Kecemasan Menggapai Ketentraman

"Ingatlah bahwa para kekasih Allah itu tidak akan merasa takut dan tidak akan bersedih. Mereka orang-orang yang beriman dan keadaan mereka bertaqwa. Bagi mereka berita gembira (dalam kehidupan akherat)..." (QS. Yunus : 62-64)

Kecemasan seseorang tidak hanya disebabkan tidak punya harta. Tapi gaya hidup seseorang juga menyebabkan orang lain merasa cemas. Masyarakt dewasa ini telah cenderung bergaya individualis. Hal ini menyebabkan adanya beberapa golongan masyarakat yang merasa dirinya tersisih.
Orang yang tersisih cenderung cepat frustasi saat dihadapkan dengan masalah-masalah dalam kehidupan. Sehingga kelompok ini akan mudah tersulut kemarahannya, sehingga mudah sekali melakukan kejahatan. Bahkan bagi mereka yang tidak sanggup membawa beban hidupnya, mereka akan bunuh diri. Na'udzubillah.

Setiap manusia memiliki peluang untuk merasakan kecemasan. tetapi sebagai seorang muslim yang menjadikan Al Quran sebagi pedoman, kita telah mendapatkan petunjuk., bahwa kecemasan ataupun kenyamanan hidup seseorang ditentukan oleh "jarak" kita dengan Allah swt. Apabila kita dekat dengan Allah, maka peluang untuk merasa cemas akan sangat kecil. Namun ketika jarak kita dengan Allah jauh, maka kita mungkin merasa dalam hidup ini tiada detik yang berlalu tanpa kecemasan.

Perlu diketahui bahwa yang mendekatkan kita kepada Allah hanyalah keimanan, sebagimana firman-Nya :
"Orang-orang yang beriman yang tidak mencampur adukkan keimanan mereka dengan kedzaliman (syirik) mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk." (QS. Al An'am : 82)
Keimanan yang mampu menghilangkan cemas bukan sembarang keimanan. Hanya iman yang hidup dan mempunyai kekuatan lah yang mampu menghilangkan kecemasan. Hidupnya iman dapat diwujudkan dengan amal yang nyata serta pengorbanan yang iklhas. Iman yang hidup akan senantiasa menuntun pemiliknya melakukan upaya mencari jalan agar lebih dekat dengan Allah swt. Sedang kekuatan iman dibuktikan dengan senantiasa dzikrullah sesuai dengan yang diajarkan oleh Rasulullah saw dan amal shaleh.
"Yaitu orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tentram dengan mengingat Allah. Ingatlah hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tentram." (QS. Ar Ra'd : 28)
Kekuatan iman seseorang ditentukan oleh bagaimana seseorang memandang kehidupan ini. Oleh karena itu, paling tidak ada tiga hal yang perlu diketahui oleh seorang mukmin, agar muncuk kekuatan iman dalam dirinya. Hal tersebut adalah :

Ma'rifatu Ghaayatil Hayaah (Memahami Tujuan Hidup)
Tujuan hidup seorang mukmin sangat jelas, yaitu hanya beribadah kepada Allah swt. Sebagaimana firman-Nya :
"Dan tidaklah aku ciptakan jin dan manusia melainkan untuk beribadah kepadaKu.' (QS. Adz Dzaariyat : 56)
Ibadah bagaimana yang dimaksud oleh Allah? yaitu ibadah yang semata-mata karena Allah dan yang seperti dituntunkan Rasulullah saw. Ibadah bukanlah hanya yang berbentuk ritual saja namun apa saja yang kita lakukan akan dihitung sebagai amal bila kita niatkan untuk mencari ridha Allah swt dan sesuai ajaran Rasulullah saw.

Ma'rifatu Haqiiqati Dunyaa wal Aakhirah (Memahami Hakikat Dunia dan Akhirat)
Hidup di dunia sama sekali tidak berarti bila dibandingkan dengan kehidupan akhirat. Dunia ini tidak kekal (fana') sedang akhirat kekal (baqa'). Firman Allah swt :
"Apakah kamu puas dengan kehidupan dunia sebagai ganti dari kehidupan akhirat padahal kenikmatan kehidupan di dunia ini (dibanding dengan kehidupan) diakhirat hanyalah sedikit." (QS. At Taubah : 38)

Ma'rifatu Haqiqatil Maut (Memahami Hakikat Kematian)
Segala sesuatu yang ada di dunia ini pasti akan rusak dan berakhir. Firman-Nya :
"Semua yang ada di bumi ini akan binasa." (QS. Ar Rahman : 26)

Selain tiga konsep di atas yang perlu kita catat adalah bahwa kecemaan merupakan masalah jiwa. Maka penyelesaiannya haruslah dengan obat dari sang pemilik jiwa yaitu Allah swt. Obat yang insya Allah mampu menetralisir kecemasan, kegelisahan ataupun kekikiran antara lain :
- Melaksanakan shalat secara kontinue dan terjaga kualitasnya
- Menyisihkan sebagian hartanya untuk fakir miskin
- Meyakini akan hari pembalasan dan bersiap-siap menghadapinya dengan banyak beramal shaleh
- Merasa takut akan siksa Allah swt
- Memelihara kesucian kemaluannya dengan tidak mengumbar nafsu selain kepada jalan yang dibenarkan oleh Allah swt
- Menjaga amanat yang di percayakan kepadanya dan menunaikan janji yang dibuatnya

Dengan menunaikan hal tersebut diatas insya Allah kecemasa hidup tak lagi ada dalam jiwa kita dan hidup akan tentram dan bahagia.

5 Perusak Hati

Hati adalah pengendali. Jika ia baik, baik pula perbuatannya. Jika ia rusak, rusak pula perbuatannya. Maka menjaga hati dari kerusakan adalah niscaya dan wajib. Tentang perusak hati, Imam Ibnul Qayyim rahimahullah menyebutkan ada lima perkara, yaitu :

1.    Bergaul dengan banyak kalangan
Pergaulan itu perlu, tapi tidak asal bergaul dan banyak teman. Teman-teman yang buruk lambat laun akan menghitamkan hati, melemahkan dan menghilangkan rasa nurani, akan membuat yang bersangkutan larut dalam memenuhi berbagai keinginan mereka yang negatif.
Rasulullah SAW bersabda :

الْمَرْءُ عَلَى دِينِ خَلِيلِهِ فَلْيَنْظُرْ أَحَذُكُمْ مَنْ يُخَالِلُ « عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ

»
Dari Abu Hurairah ra. dari Nabi SAW bersabda : seseorang itu atas din saudaranya. Maka lihatlah salah seorang diantara kalian, siapa yang ditemani. (HR. Ahmad)

Artinya, kalau kita ingin melihat kualitas din seseorang, maka lihatlah teman-temannya. Jika temannya adalah orang-orang rusak, maka dinnya rusak. Dan jika temannya adalah orang-orang shalih, maka dinnya pun baik.

Allah Ta’ala berfirman :
"Teman-teman akrab pada hari itu sebagiannya menjadi musuh bagi sebagian yang lain, kecuali orang-orang yang bertakwa." (Az-Zukhruf: 67).

Maka bergaullah dengan para ulama’ dan orang-orang sholih, karena ia ibarat makanan yang kita kunsumsi setiap hari. Sedikit saja kita jauh darinya akan menjadikan hati kita jauh dari Allah Ta’ala dan islam. Sebaliknya, kita harus menjauhi teman para ahli bid’ah dan ahli maksiyat, karena ia adalah racunnya hati yang dapat mematikan hati kita dan sulit mendapatkan petunjuk dari Allah Ta’ala.

2.    Larut dalam angan-angan kosong
Angan-angan kosong adalah lautan tak bertepi. Ia adalah lautan tempat berlayarnya orang-orang bangkrut. Bahkan dikatakan, angan-angan adalah modal orang-orang bangkrut. Ombak angan-angan terus mengombang-ambingkannya,khayalan-khayalan dusta senantiasa mempermainkannya. Laksana anjing yang sedang mempermainkan bangkai.
Adapun orang yang memiliki cita-cita tinggi dan mulia, maka cita-citanya adalah seputar ilmu, iman dan amal shalih yang mendekatkan dirinya kepada Allah. Dan ini adalah cita-cita terpuji. Adapun angan-angan kosong ia adalah tipu daya belaka. Nabi shalallahu 'alaihi wa sallam memuji orang yang bercita-cita terhadap kebaikan.

3.    Bergantung kepada selain Allah
Ini adalah faktor terbesar perusak hati. Tidak ada sesuatu yang lebih berbahaya dari bertawakkal dan bergantung kepada selain Allah. Jika seseorang bertawakkal kepada selain Allah maka Allah akan menyerahkan urusan orang tersebut kepada sesuatu yang ia bergantung kepadanya. Allah akan menghinakannya dan menjadikan perbuatannya sia-sia. Ia tidak akan mendapatkan sesuatu pun dari Allah, juga tidak dari makhluk yang ia bergantung kepadanya. Allah berfirman, artinya:

"Dan mereka telah mengambil sembahan-sembahan selain Allah, agar sembahan-sembahan itu menjadi pelindung bagi mereka. Sekali-kali tidak, kelak mereka (sembahan-sembahan) itu akan mengingkari penyembahan (pengikut-pengikutnya) terhadapnya, dan mereka (sembahan-sembahan) itu akan menjadi musuh bagi mereka." (Maryam: 81-82)

Maka orang yang paling hina adalah yang bergantung kepada selain Allah. Ia seperti orang yang berteduh dari panas dan hujan di bawah rumah laba-laba. Dan rumah laba-laba adalah rumah yang paling lemah dan rapuh. Lebih dari itu, secara umum, asal dan pangkal syirik adalah dibangun di atas ketergantungan kepada selain Allah. Orang yang melakukannya adalah orang hina dan nista.
Allah berfirman, artinya: "Janganlah kamu adakan tuhan lain selain Allah, agar kamu tidak menjadi tercela dan tidak ditinggalkan (Allah)." (Al-Isra': 22)

4.    Makanan
Makanan perusak ada dua macam.
Pertama , merusak karena dzat/materinya, dan ia terbagi menjadi dua macam. Yang diharamkan karena hak Allah, seperti bangkai, darah, anjing, binatang buas yang bertaring dan burung yang berkuku tajam. Kedua, yang diharamkan karena hak hamba, seperti barang curian, rampasan dan sesuatu yang diambil tanpa kerelaan pemiliknya, baik karena paksaan, malu atau takut terhina.

Kedua, merusak karena melampaui ukuran dan takarannya. Seperti berlebihan dalam hal yang halal, kekenyangan kelewat batas. Sebab yang demikian itu membuatnya malas mengerjakan ketaatan, sibuk terus-menerus dengan urusan perut untuk memenuhi hawa nafsunya. Jika telah kekenyangan, maka ia merasa berat dan
karenanya ia mudah mengikuti komando setan. Setan masuk ke dalam diri manusia melalui aliran darah. Puasa mempersempit aliran darah dan menyumbat jalannya setan. Sedangkan kekenyangan memperluas aliran darah dan membuat setan betah tinggal berlama-lama. Barangsiapa banyak makan dan minum, niscaya akan banyak tidur dan banyak merugi.

Dalam sebuah hadits masyhur disebutkan: "Tidaklah seorang anak Adam memenuhi bejana yang lebih buruk dari memenuhi perutnya (dengan makanan dan minuman). Cukuplah bagi anak Adam beberapa suap (makanan) yang bisa menegakkan tulang rusuknya. Jika harus dilakukan, maka sepertiga untuk makanannya, sepertiga untuk minumannya dan sepertiga lagi untuk nafasnya." (HR. At-Tirmidzi, Ahmad dan Hakim, dishahihkan oleh Al-Albani).

5.    Kebanyakan tidur
Banyak tidur mematikan hati, memenatkan badan, menghabiskan waktu dan membuat lupa serta malas. Di antara tidur itu ada yang sangat dibenci, ada yang berbahaya dan sama sekali tidak bermanfaat. Sedangkan tidur yang paling bermanfaat adalah tidur saat sangat dibutuhkan.
Segera tidur pada malam hari lebih baik dari tidur ketika sudah larut malam. Tidur pada tengah hari (tidur siang) lebih baik daripada tidur di pagi atau sore hari. Bahkan tidur pada sore dan pagi hari lebih banyak madharatnya daripada manfaatnya.
Di antara tidur yang dibenci adalah tidur antara shalat Shubuh dengan terbitnya matahari. Sebab ia adalah waktu yang sangat strategis. Karena itu, meskipun para ahli ibadah telah melewatkan sepanjang malamnya untuk ibadah, mereka tidak mau tidur pada waktu tersebut hingga matahari terbit. Sebab waktu itu adalah awal dan pintu siang, saat diturunkan dan dibagi-bagikannya rizki, saat diberikannya barakah. Maka masa itu adalah masa yang strategis dan sangat menentukan masa-masa setelahnya. Karenanya, tidur pada waktu itu hendaknya karena benar-benar sangat terpaksa.
Secara umum, saat tidur yang paling tepat dan bermanfaat adalah pada pertengahan pertama dari malam, serta pada seperenam bagian akhir malam, atau sekitar delapan jam. Dan itulah tidur yang baik menurut pada dokter. Jika lebih atau kurang daripadanya maka akan berpengaruh pada kebiasaan baiknya. Termasuk tidur yang tidak bermanfaat adalah tidur pada awal malam hari, setelah tenggelamnya matahari. Dan ia termasuk tidur yang dibenci Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam .
Banyak orang yang berpuasa, akan tetapi melakukan beberapa pelanggaran-pelanggaran diatas. Mereka memperbanyak makan karena seharian berpuasa. Ada yang memperbanyak tidur , padahal bulan puasa adalah bulan ibadah bukan bulan untuk memperbanyak tidur. Ada pula yang banyak melamun, bergaul dengan orang-orang rusak dengan alasan untuk menunggu berbuka puasa. Marilah bulan puasa ini kita manfaatkan untuk beribadah, karena tidak ada yang menjamin bahwa kita masih menemui kembali bulan ramadhan tahun depan.

(Disadur dari Mufsidaatul Qalbi Al-Khamsah, min kalami Ibni Qayyim Al-Jauziyyah)

Hukum Operasi Cesar

Dahulu, ibu-ibu kita kalau melahirkan anak, mereka melahirkan secara normal, tanpa operasi.  Namun, akhir-akhir ini banyak dari ibu-ibu yang melahirkan anak mereka melalui proses operasi dengan cara membedah perut mereka. Mereka melakukan hal itu karena alasan medis, seperti bayi kembar, atau panggul yang sempit, atau ukuran bayi yang terlalu besar. Kadang juga  karena alasan sosial atau sekedar sebagai pelengkap saja, seperti jalan lahir bayi ingin tetap utuh sehingga organ kewanitaannya sama seperti sebelum melahirkan, atau sekedar ingin menentukan tanggal kelahiran sesuai yang dikehendaki dan lain-lainnya.
Bagaimana Islam memandang kecenderungan sebagian masyarakat untuk melakukan operasi cesar setiap melahirkan, padahal kalau diteliti secara seksama sebagian dari mereka bisa melahirkan secara normal. Oleh karena itu dibutuhkan penjelasan secara syar’I tentang hukum operasi cesar dari kaca mata Islam.

Pengertian Operasi Cesar
Operasi Cesar yang dalam bahasa Arabnya adalah Jirahah al-Wiladah adalah operasi yang bertujuan mengeluarkan bayi dari perut seorang ibu, baik itu terjadi setelah sempurnanya penciptaan bayi atau sebelum sempurnanya penciptaannya.[1] Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebut bahwa bedah cesar adalah pembedahan yang dilakukan dengan pengirisan dinding perut dan peranakan untuk melahirkan ( mengeluarkan ) janin.

Hukum Operasi Cesar
Hukum operasi cesar dilihat dari sisi kepentingan wanita hamil atau janin dibagi menjadi tiga :

Pertama : Dalam Keadaan Darurat.
Yang dimaksud dalam keadaan darurat dalam operasi cesar adalah adanya kekhawatiran terancamnya jiwa ibu, atau bayi, atau kedua-duanya secara bersamaan.[2]
(1) Operasi Cesar untuk menyelamatkan jiwa ibu, misalnya untuk ibu yang mengalami eklampsia atau kejang dalam kehamilan, mempunyai penyakit jantung, persalinan tiba-tiba macet, pendarahan banyak selama kehamilan, infeksi dalam rahim, dan dinding rahimnya yang menipis akibat bedah caesar atau operasi rahim sebelumnya.

 (2) Operasi Cesar untuk menyelamatkan jiwa bayi, adalah jika sang ibu sudah meninggal dunia, tapi bayi yang berada di dalama perutnya masih hidup.
Apakah dibolehkan untuk membedah perut ibu dalam keadaan seperti ini ? Para ulama berbeda pendapat [3] :

Pendapat Pertama : Dibolehkan untuk dilakukan operasi dengan membedah perut ibunya, agar bayi bisa dikeluarkan. Ini adalah pendapat Imam Abu Hanifah, Muhammad bin Hasan, Madzhab Syafi’iyah, dan Dhahiriyah, serta dipilih oleh beberapa ulama dari Malikiyah dan Hanabilah.

Pendapat Kedua : Tidak dibolehkan dilakukan operasi dengan membedah perut ibunya. Ini adalah pendapat Malikiyah dan Hanabilah. Mereka berdalil dengan dalil-dali sebagai berikut :

Pertama : Hadist Aisyah radhiyallahu ‘anha, bahwasanya ia berkata, bahwasanya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda :
 كَسْرُ عَظْمِ الْمَيِّتِ كَكَسْرِهِ حَيًّا
 "Memecahkan tulang mayit seperti memecahkannya ketika masih hidup. " ( HR Abu Daud dan Ibnu Majah) [4]
             
Kedua : Bahwa janin yang masih hidup dalam perut ibunya yang sudah mati tersebut, sering tidak tertolong. Seandainya perut ibunya sudah dibedahpun dan janin tersebut bisa hidup, biasanya hidupnya tidak lama. Oleh karenanya, tidak boleh melakukan kerusakan yang pasti hanya sekedar mengejar sesuatu yang belum tentu bisa diselamatkan. [5]
(3) Operasi Cesar untuk menyelamatkan jiwa ibu dan bayi secara bersamaan adalah ketika air ketuban pecah, namun belum ada kontraksi akan melahirkan, bayi terlilit tali pusar sehingga tidak dapat keluar secara normal, usia bayi belum matang (prematur), posisi bayi sungsang, dan lain-lain.
Dalam tiga keadaan di atas, menurut pendapat yang benar, dibolehkan dilakukan operasi cesar untuk menyelamatkan jiwa ibu dan anak . Dalil-dalilnya sebagai berikut :

Pertama : Firman Allah subhanahu wa ta’ala :
وَمَنْ أَحْيَاهَا فَكَأَنَّمَا أَحْيَا النَّاسَ جَمِيعًا
“ Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya. "  ( Qs Al Maidah : 32 )

Dalam ayat ini, Allah swt memuji setiap orang yang memelihara kehidupan  manusia, termasuk di dalamnya orang yang menyelamatkan ibu dan bayi dari kematian dengan melakukan pembedahan pada perut.
            Ibnu Hazm berkata : “ Jika seorang ibu yang hamil meninggal dunia, sedangkan bayinya masih hidup dan bergerak dan sudah berumur enam bulan, maka dilakukan pembedaan perutnya dengan memanjang untuk mengeluarkan  bayi tersebut, ini berdasarkan firman Allah ( Qs. 5 : 32 ), dan barang siapa membiarkannya bayi tersebut di dalam sampai mati, maka orang tersebut dikatagorikan pembunuh. “ [6]
             
Kedua : Kaidah Fiqhiyah yang berbunyi :
الضرر يزال
 “  Suatu bahaya itu harus dihilangkan “ [7]
  1.   
Ketiga : Kaidah Fiqhiyah yang berbunyi :
إذَا تَعَارَضَ مَفْسَدَتَانِ رُوعِيَ أَعْظَمُهُمَا ضَرَرًا بِارْتِكَابِ أَخَفِّهِمَا
“ Jika terjadi pertentangan antara dua kerusakan, maka diambil yang paling ringan kerusakannya[8]
            Keterangan dari kaidah di atas adalah bahwa operasi cesar dalam keadaan darurat terdapat dua kerusakan, yang pertama adalah terancamnya jiwa ibu atau anak, sedangkan kerusakan yang kedua adalah dibedahnya perut ibu. Dari dua kerusakan tersebut, maka yang paling ringan adalah dibedahnya perut ibu, maka tindakan ini diambil untuk menghindari kerusakan yang lebih besar, yaitu terancamnya jiwa ibu dan anak.
            Berkata Syekh Abdurrahman as- Sa’di [9]: “ Dan dibolehkan melukai badan, seperti membedah perut, untuk mengobati penyakit. Jika manfaatnya lebih banyak dari pada mafsadahnya, maka Allah tidak mengharamkannya. Hal semacam ini telah disinggung oleh Allah di beberapa tempat dari kitab-Nya, diantaranya adalah firman-Nya :
 يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ قُلْ فِيهِمَا إِثْمٌ كَبِيرٌ وَمَنَافِعُ لِلنَّاسِ وَإِثْمُهُمَا أَكْبَرُ مِنْ نَفْعِهِمَا
“ Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: "Pada keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya. “ ( Qs al-Baqarah : 219 )

Kedua : Dalam Keadaan Hajiyat
Keadaan Hajiyat dalam operasi Cesar adalah adanya kekhawatiran terjadinya bahaya atau sesuatu yang tidak baik, seperti cacat permanen dan lainnya, yang akan menimpa ibu, atau bayi, atau kedua-duanya secara bersamaan, tetapi bahaya ini tidak sampai pada terancamnya jiwa ibu atau anak. Seperti halnya jika  lingkar rongga panggul yang lebih kecil dari ukuran janin, sehingga akan kesulitan ketika melahirkan secara alami, usia ibu yang terlalu tua, kelainan letak plasenta, ukuran bayi terlalu besar atau terjadi bayi kembar.
Dalam keadaan hajiyat ini, operasi cesar boleh dilakukan, karena hajiyat kadang sangat dibutuhkan oleh masyarakat, sehingga sebagian ulama menyamakan kedudukannya dengan darurat.  Oleh karenanya, mereka meletakkan kaidah fiqhiyat sebagai berikut :
الْحَاجَةُ تَنْزِلُ مَنْزِلَةَ الضَّرُورَةِ ، عَامَّةً كَانَتْ أَوْ خَاصَّةً
“ Kebutuhan itu disamakan dengan kedudukan darurat, baik yang bersifat umum, maupun khusus. “       [10]

Ketiga : Dalam Keadaan Tahsiniyat
Keadaan Tahsiniyat di dalam operasi Cesar adalah adanya keinginan dari pasien atau yang mewakilinya untuk bisa mencapai sesuatu yang merupakan pelengkap di dalam kehidupannya, yang sebenarnya hal itu tidak mengancam jiwanya atau tidak menyebabkan bahaya jika tidak dilakukan operasi Cesar. seperti halnya seorang istri yang melakukan operasi cesar dengan harapan bisa membahagiakan suaminya, karena jalan lahir bayi masih utuh, sehingga organ kewanitaannya sama seperti sebelum melahirkan, atau sekedar ingin menentukan tanggal kelahiran sesuai yang dikehendaki,  atau tidak mau berlama-lama menjalani proses persalinan normal yang kadang membutuhkan waktu berjam-jam, atau hanya sekedar ingin menghindari rasa sakit ketika melahirkan secara normal.
Selain itu operasi cesar mempunyai beberapa dampak buruk bagi kesehatan ibu dan anak. Yang terjadi pada anak misalnya gangguan pernafasan akibat cairan yang memenuhi paru-paru janin selama berada dalam rahim, rendahnya sistem kekebalan tubuh, rentan alergi, emosi cenderung rapuh, terpengaruh anestesi dan lain-lain. Yang terjadi pada ibu, misalnya rasa sakit yang sangat pada bagian perut dan rahim akibat robekan saat operasi, kemungkinan terjadi infeksi rahim dan pendarahan yang banyak, bahkan efeknya masih dirasakan hingga bertahun-tahun lamanya. Wallahu A’lam


[1] Dr. Muhammad al-Mukhtar asy-Syinqiti, Ahkam al-Jirahiyah ath-Thibiyah, Jeddah, Maktabah as-Shahabah, 1415 H/ 1994 M, Cet ke-2, hlm : 154
[2] Pengertian darurat secara lebih lengkap telah dijelaskan oleh para ulama, diantaranya bisa dilihat  di : Dr. Samih Abdul al-Wahab al-Jundi, Ahammiyatu al –Maqasid fi asy-Syari’ah al-Islamiyah,  Iskandariyah, Dar al-Iman, 2003, hlm : 231- 234, Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh wa Adilatuhu, Damaskus, Dar al-Fikri,  1409 H/ 1989 M, Cet. Ke- 3, juz : 3, hlm : 515- 520
[3] Dr. Muhammad al-Mukhtar asy-Syinqiti, Ahkam al-Jirahiyah ath-Thibiyah, hlm : 322
[4] Hadist ini dihasankan oleh Ibnu Qattan. Berkata Ibnu Hajar : hadist ini sesuai dengan syarat Muslim ( Syekh Abdullah Bassam, Taudhih al-Ahkam, juz 2, hlm : 367 )
[5] Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh wa Adilatuhu, juz : 3, hlm : 521
[6] Ibnu Hazm, al-Muhalla, juz : 5, hlm : 166
[7] As-Suyuti, al-Asybah wa an-Nadhair, Beirut, Daar al-Kutub al-Ilmiyah, 1403 H/1983 M, Cet- 1, hlm : 87. Imam Suyuthi juga membolehkan pembedahan perut ibu yang mati untuk mengeluarkan janin yang masih hidup dengan alasan kaidah di atas.  
[8] Ibnu Nujaim, al-Asybah wa an-Nadhair, Kairo, al-Maktabah at- Taufiqiyah,  hlm : 97
[9] Pernyataan Syekh Abdurrahman as-Sa’di ini  bisa dilihat  di dalam Dewan Ulama Senior Saudi Arabia, al-Buhuts al-Ilmiyah, juz : 2, hlm : 72, dan dinukil ulang  oleh Syekh Abdurrahman al-Basaam di dalam Taudhih al-Ahkam : juz : 2, hlm : 368.
[10] Kaidah Fiqhiyah ini disebutkan oleh Ibnu Nujaim di dalam  al-Asybah wa an-Nadhair, hlm : 100, Imam Suyuthi di dalam  al-Asybah wa an-Nadhair, , hlm : 88

Jumat, 12 April 2013

Tahun Baru Islam : Sejarah dan Ibroh

Tahun Baru Islam : Sejarah Dan Ibroh“Dialah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang demikian itu melainkan dengan hak. Dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang mengetahui.” (Q.S. Yunus :5)
Maha Benar Allah dengan segala perkataan-Nya. Siang berganti malam, bulan berganti bulan, kita pun telah sampai di tahun yang baru yang ditandai dengan sampainya kita kepada bulan Muharram 1434H. Yang terpenting bagi kita adalah bukan hura-hura, pesta kembang api, bukan pula seremonial pengajian memperingati tahun baru. Yang paling penting adalah bagaimana kita bisa memaknai tahun baru, sehingga kita tergolong sang muhajir, yakni orang yang hijrah dari apa-apa yang dilarang Allah “Al-Muhajiru man hajara maa nahallahu ‘anhu” (HR Bukhari)

Fragmen-fragmen sejarah yang berkaitan dengan tahun hijriyah.
Fragmen ke-1  : Asal Muasal Penanggalan
Kita mengenal sistem penanggalan Masehi (diambil dari gelar Nabi Isa, yakni Al-Masih/Arab atau Messiah/Ibrani/Hebrew) yang diperkenalkan golongan Nasrani. Bangsa Jepang memiliki sistem penanggalan “Tahun Samura”, yang mengandung unsur pemujaan terhadap dewa matahari Amaterasu O Mi Kami. Tahun Samura dimulai tanggal 11 Februari 660 M, yakni tanggal kenaikan Raja Jimmu Tenno sebagai Kaisar Jepang yang dianggap sebagai keturunan dewa matahari. Di Jawa dikenal juga Tahun Saka yang dikaitkan dengan hikayat Raja Aji Saka. Konon Aji Saka adalah raja keturunan dewa yang datang dari India untuk menetap di Jawa.
Berbeda dengan sistem penanggalan di atas, di mana semuanya berkaitan dengan figur seseorang, maka ummat ini di dalam sistem penanggalannya tidak menggunakan tahun kelahiran Nabi Muhammad saw., tidak juga menisbahkan kepada nama-nama Khalifah sesudahnya. Imam Asy-Sya’bi berkata,”Abu Musa Al-Asy’ari Ra. menulis kepada Umar bin Khattab ra. : “Telah datang kepada kami surat-surat dari Amirul Mukminin yang tidak bertanggal. Maka Umar ra. mengumpulkan  orang-orang untuk bermusyawarah. Sebagian berkata, “Berilah tanggal berdasarkan kenabian Nabi Muhammad saw”. Yang lain berkata, “Kita beri tanggal dari hijrahnya Nabi” , Maka Umar ra. berkata, “Benar kita beri tanggal berdasarkan hijrahnya Nabi Muhammad saw. ke Madinah karena hijrahnya Rasulullah ke Madinah adalah garis pemisah antara yang hak dan yang batil.”  Menurut Sa’id Ibnul Musayyib, orang yang mengusulkan “kita mulai dari hijrahnya Nabi” adalah Ali bin Abi Thalib ra., ketika Umar bertanya kepada mereka, ‘Dari mana harus dimulai ?’
Pelajarannya : Ummat tidak diberi contoh  untuk mengkultuskan tokoh. Ummat hendaknya menjauhkan diri dari penyakit figuritas, gampang terpesona oleh kebesaran tokoh di jamannya.

Fragmen ke-2  : Dibaliknya tersimpan strategi da’wah
Hijrah ke-1 ke Habasyah (Ethiopia) dilakukan oleh golongan lemah dari para shahabat. Sementara shahabat yang kuat tetap tinggal di Makkah untuk berda’wah dengan segala macam resikonya, ibaratnya sebagai sarana pelatihan untuk menghadapi tahapan-tahapan yang lebih berat di masa mendatang. Meski demikian, boleh jadi hijrah sebagian shahabat ke Habasyah adalah sebagai strategi pemeliharaan kader da’wah. Siapa tahu, meskipun kader-kader yang menetap di Makkah adalah kader yang kuat, tetapi bisa saja toh kader-kader di Makkah akan habis karena ancaman Quraisy ? Ini disadari benar oleh Quraisy, sehingga mereka mengirim utusannya ke Raja Najasyi (penguasa Habasyah), agar orang-orang yang meminta suaka tersebut dikembalikan kepada mereka. Rasulullah saw. pun pernah mencoba melihat kemungkinan daerah da’wah baru di Thaif. Rupa-rupanya Thaif pada masa itu masih tidak bershahabat, sehingga Rasulullah disambut dengan cacian dan lemparan batu oleh orang-orang Thaif. Ketika malaikat menawarkan agar kampung Thaif ditimpakan gunung, maka alih-alih mengiyakan, Rasulullah malah mendo’akan agar anak cucu mereka nanti terbuka untuk menerima da’wah. Di sini kita melihat sebuah pelajaran, bahwa da’wah harus shabar tidak boleh tergesa-gesa. Jangan terlalu terpaku pada objek da’wah yang itu-itu saja, boleh jadi anaknya, keluarganya, atau orang-orang disekitar ia yang akan menerima seruan da’wah.
Rasulullah memanfaatkan momen ibadah haji, utamanya masa (mabit) menginap di Mina untuk penyebaran da’wah. Ternyata, berawal dari acara-acara umum (ibadah haji adalah momen tahunan orang Arab, bahkan yang musyrik sekalipun) disitu Rasulullah bertemu pertama kalinya dengan calon kader da’wah dari Yatsrib (Madinah). Siapa mengira jika setahun kemudian (dengan memanfaatkan momentum haji), secara diam-diam Rasulullah telah mendapatkan kader da’wah sejumlah 12 orang yang mengikrarkan diri untuk mengislamisasi kehidupannya (Bai’ah Aqabah I / Bai’ah Nisa). Bahkan tahun berikutnya melonjak menjadi 70 orang pria dan 2 wanita ? Peristiwa bertemunya Rasulullah saw. dengan 72 orang kader da’wah asal Madinah disebut-sebut di dalam sejarah sebagai “Bai’ah Aqabah II”, di mana pendukung da’wah di Madinah yang diwakili oleh 72 orang tersebut melakukan ikrar setia membela Rasulullah sebagaimana mereka membela anak-anak dan istri mereka.
Setelah terbangun pondasi yang kokoh itulah (ditandai dengan jaminan pembelaan nyawa), maka Allah memberitahu kepada Rasul-Nya, agar hijrah ke Madinah dilangsungkan. Peristiwa hijrahnya Rasuullah saw. pun penuh dengan pelajaran-pelajaran yang menunjukkan kematangan strategi. Rasulullah saw. melakukan janjian untuk pergi hijrah bersama Abu Bakar ra. dengan cara mengunjungi  Abu Bakar pada siang hari yang sangat terik, di mana manusia pada jam-jam tersebut lebih memilih tinggal di rumah, sehingga manusia tidak ada yang tahu rencana tersebut Malam harinya Rasulullah saw. menyuruh Ali ra. untuk tidur di ranjangnya dengan memakai selimut Rasulullah saw, sehingga orang-orang Quraisy yang mengepung rumah nabi mengira bahwa Rasulullah masih di rumahnya. Saat hijrah, Rasulullah tidak buru-buru menuju utara (Madinah), tetapi beliau bersama Abu Bakar menuju ke Jabal Tsur yang terletak di selatan. Andai saja beliau saw. langsung ke utara, boleh jadi mereka akan tersusul oleh pasukan gerak cepat Quraisy yang menggunakan kuda-kuda pilihan. Selama 3 hari bersembunyi tersebut Abu Bakar ra. memerintahkan anaknya Abdullah untuk memantau perkembangan kota Makkah. Setiap malam, Asma’ puteri Abu Bakar ditugaskan untuk mengantar ransum makanan ke atas gunung secara diam-diam. Sementara Amir bin Fuhairah (pembantu Abu Bakar), ditugaskan untuk menggembala kambing di sekitar situ guna menghapus jejak-jejak Asma’ ra. Demikianlah, setelah keadaan mulai aman, Rasulullah saw. dan Abu Bakar baru bergerak ke Madinah dengan melalui jalan-jalan yang jarang ditempuh manusia, mendekati tepian laut Merah.

Fragmen ke-3  : Hijrah adalah Bukti Keimanan
Orang-orang yang berhijrah meninggalkan hartanya, meninggalkan karir dan eksistensi yang sudah dibangun puluhan tahun di Makkah. Demikianlah, hijrah menjadi ujian keimanan. Memilih Allah dan Rasul-Nya atau memilih kemapanan di Makkah ? Hijrah menyebabkan perkawinan berakhir, karena sang pasangan masih kafir musyrik. Pilih cinta Allah dan Rasul-Nya atau pilih cinta si dia ?
Orang-orang yang tidak berangkat hijrah, padahal mampu, mereka itu ketika mati dipertanyakan oleh Malaikat dengan “Bagaimana kalian ini ?” (lihat An-Nisa : 99)
Bahkan orang yang sudah taat dan melakukan hijrah-pun harus mengikhlaskan niatnya. Hendaknya jangan berhijrah karena di tempat asal memang sudah miskin, dan berharap di Madinah bisa mendapatkan dunia. Atau jangan pula berhijrah karena wanita yang ditaksirnya berhijrah, sehingga buru-buru ikut hijrah agar si wanita mengira ia sholeh dan mau menerimanya sebagai suami. Berapa banyak di jaman ini, manusia tiba-tiba menjadi shalih mendadak supaya mendapat hati cowok/cewek idaman, dan persetujuan calon mertua? “Barangsiapa hijrah karena Allah dan Rasul-Nya maka hijrahnya itu adalah menuju Allah dan Rasul-Nya. Barangsiapa hijrah karena (harta) dunia yang diusahakannya atau karena wanita yang akan dinikahinya, maka hijrahnya itu menuju apa yang ia inginkan” (HR Bukhari & Muslim)
Momentum hijrah ini hendaknya mampu menjadikan kita melakukan hijrah i’tiqadiyah (keyakinan) dari kekafiran menuju keimanan, hijrah fikriyah (pola berfikir) dari jahiliyah menuju Islam, hijrah syu’uriyah (rasa) dari cinta dunuia menju cinta akherat, hijrah sulukiyah (tingkah laku) dari akhlak tercela menuju akhlak terpuji. Pendeknya hijrah di semua cabang kehidupan!

Qurban Dan Perubahan Sosial

Qurban Dan Perubahan SosialSejalan dengan pelaksanaan Ibadah Haji, umat Islam juga melaksanakan Ibadah Qurban. Qurban sebagaimana dikisahkan dalam Al-Qur’an bermula ketika Nabi Ibrahim As diminta Allah SWT untuk menyembelih anaknya sendiri Nabi Ismail As, yang mana kemudian atas kekuasaanNya Ismail diganti dengan seekor sembelihan yang besar (kibas). Disebutkan dalam Al Qur’an, Allah memberi perintah melalui mimpi kepada Nabi Ibrahim untuk mempersembahkan Ismail. Hal sebagaimana diabadikan dalam QS Surat Ash Shaaffat ayat 102-107.

Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: “Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu!” Ia menjawab: “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar”. Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipis(nya), (nyatalah kesabaran keduanya ).Dan Kami panggillah dia: “Hai Ibrahim. Sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata. Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar.

Sebagai anak yang shalih, Ismail benar-benar yakin bahwa apa yang disampaikan ayahnya Ibrahim merupakan perintah Allah SWT. Begitu juga Ibrahim, dengan kepasrahan dan ketulusannya berqurban menjalankan perintahNya. Padahal kita ketahui dalam sejarah bahwa Ismail adalah anak yang sangat dicintainya. Di sinilah melalui kisah Ibrahim Allah memberikan pembelajaran kepada ummat manusia bahwa betapapun kita mencintai sesuatu termasuk anak kita, namun Ibrahim menunjukkan betapa cintanya kepada Allah SWT melebihi dari segalanya.

Qurban sering diistilahkan dengan udhiyah atau Dhadiyyah secara harfiah berarti hewan sembelihan. Pelaksanaan qurban ini dilaksanakan pada bulan Dzulhijjah pada tanggal 10 dan 11, 12 dan 13 (hari tasyrik) yang bertepatan dengan Hari Raya Idul Adha. Sejarah qurban sebelum Nabi Ibrahim juga terjadi ketika Habil dan Qabil putera Nabi Adam As. Hal ini sebagaimana dinyatakan dalam QS Al-Maidah ayat 27 “Ceritakanlah kepada mereka kisah kedua putera Adam (Habil dan Qabil) menurut yang sebenarnya, ketika keduanya mempersembahkan kurban, maka diterima dari salah seorang dari mereka berdua (Habil) dan tidak diterima dari yang lain (Qabil). Ia berkata (Qabil): “Aku pasti membunuhmu!”. Berkata Habil: “Sesungguhnya Allah hanya menerima (kurban) dari orang-orang yang bertaqwa”.

Perubahan Sosial

Dalam konteks berbangsa dan bernegara saat ini, pembelajaran qurban menjadi sangat relevan untuk kita aktualisasikan. Qurban merupakan wujud syukur kita kepada sang Pencipta. Selain itu, qurban memiliki dua karakter utama yakni adanya pengorbanan dan keikhlasan. Pengorbanan adalah sebuah karakter utama yang gemar untuk berbuat untuk orang lain. Karakter orang yang senang membantu orang lain. Dirinya akan gelisah ketika belum bisa memberikan manfaat bagi orang lain. Begitu juga keikhlasan merupakan sebuah karakter kepasrahan atas kehendakNya. Karena ia yakin bahwa apa yang telah ditentukanNya pasti membawa kebaikan buat semua.

Di tengah berbagai permasalahan yang masih mendera bangsa ini sesungguhnya karakter pengorbanan dan keikhlasan menjadi sangat penting kita aktualisasikan dalam kehidupan sehari-hari. Pertama, pengorbanan. Program qurban, zakat, infaq shodaqoh dan wakaf yang selama ini telah berjalan di tengah-tengah masyarakat pada dasarnya merupakan wujud dari pengorbanan. Pada satu sisi, semakin banyak yang kita keluarkan untuk program tersebut semakin besar pula tabungan amal kita yang menjadi bekal di akhirat. Di sisi lain, semakin besar jumlah yang kita keluarkan untuk donasi tersebut maka akan semakin banyak pula masyarakat yang akan merasakan manfaatnya.

Untuk keluar dari berbagai permasalahan yang mendera bangsa ini khususnya yang terkait dengan persoalan hukum, ekonomi dan kemiskinan, maka semangat pengorbanan menjadi sangat penting. Sebagaimana yang telah dipersembahkan oleh para pahlawan bangsa dalam merebut kemerdekaan Indonesia. Kepentingan umat dan bangsa adalah  lebih utama dari pada kepentingan hawa nafsu dan keserakahan. Semua anak bangsa bisa bekerja untuk Indonesia melalui profesi atau pekerjaan yang sedang digeluti. Setiap anak bangsa juga bisa mengoptimalkan perannya untuk membangun bangsa ini dengan mengorbankan tenaga, pikiran dan harta. Sehingga cita-cita menuju Indonesia sejahtera, berdaya dan berbudaya dapat terlaksana.

Kedua, keikhlasan merupakan sebuah karakter yang menjadi penggerak dalam setiap jiwa untuk mau dan mampu berbuat bagi kemaslahatan ummat. Dengan keikhlasan lah seseorang akan terus memiliki semangat untuk berbuat dan terus berbuat untuk kemajuan bangsanya. Tanpa adanya keikhlasan jiwa kita akan terasa berat untuk melakukan sesuatu bagi masyarakat. Keikhlasan perlu kita tumbuhkan dan terus dijaga agar senantiasa hadir dan melekat sebagai karakter diri kita. Keikhlasan adalah penyempurna semua pekerjaan dan pengorbanan. Keikhlasan akan melahirkan jiwa-jiwa manusia yang mampu bekerja keras, bekerja cerdas dan bekerja ikhlas.

Penutup

Pengorbanan dan keikhlasan akhirnya juga akan menjadi modal utama di dalam proses perubahan sosial di masyarakat. Negeri ini tentu akan bisa mencapai kemajuan, kemakmuran dan kesejahteraan ketika jiwa-jiwa masyarakatnya dipenuhi dengan karakter pengorbanan dan keikhlasan. Berbagai tantangan dan permasalahan yang ada seringkali terjadi tentu akan bisa diatasi dengan adanya jiwa pengorbanan dan keikhlasan tadi. Dua modal karakter ini jugalah yang menjadi spirit bagi para pejuang kemerdekaan Indonesia, sehingga bangsa ini bisa merdeka. Saat ini dan ke depan kita terus memerlukan jiwa-jiwa yang mau dan mampu untuk berkorban dan ikhlas untuk bekerja untuk Indonesia mewujudkan perubahan sosial mencapai keadilan dan kesejahteraan bangsa.   Wallahu A’lam bish Showab.

5 Bekal Perjuangan Dakwah

5 Perjuangan DakwahSudah menjadi sunnatullah dalam dakwah, bahwa jalan dakwah tidaklah bertabur kenikmatan, kesenangan dan kemewahan. Dakwah diusung menghadapi penentangan, konspirasi, persekongkolan, isolasi, pengkroyokan, bahkan ancaman pembunuhan. Oleh karenanya dakwah hanya bisa diemban oleh mereka yang mewakafkan diri dan hidupnya untuk Allah swt semata. Dakwah tidak mungkin akan dipikul oleh mereka yang mengharapkan kemewahan dunia, bersantai dengan kesenangan materi.

Rasulullah saw didalam memulai perjuangan menyeru kerabat dan kaumnya, mendapatkan taujihat Robbaniyyah –arahan Allah swt- agar menguatkan keimanan, kepribadian dan kesabaran: yaitu arahan untuk senantiasa mengagungkan Allah, membersihkan jiwa, mejauhkan diri dari maksiat, mengikhlaskan kerja, dan sabar dalam perjuangan.

”Hai orang yang berkemul (berselimut). Bangunlah, lalu berilah peringatan!. Dan Tuhanmu agungkanlah!. Dan pakaianmu bersihkanlah. Dan perbuatan dosa tinggalkanlah. Dan janganlah kamu memberi (dengan maksud) memperoleh (balasan) yang lebih banyak. Dan untuk (memenuhi perintah) Tuhanmu, bersabarlah.” (QS. Al Muddatstsir: 1-7).

Bekal pertama, Agungkan Allah.

Allah swt menanamkan dalam persepsi dan keyakinan Muhammad agar hanya mengagungkan Allah swt semata, selain-nya kecil tiada berarti. Baik dalam konteks tawaran kenikmatan duniawi, pun dalam konteks siksaan, penolakan dan pembunuhan di dunia yang dilakukan musuh-musuh dakwah, maka jika dibandingkan dengan pemberian, keridloan dan surga Allah swt sungguh tiada ada artinya.

Pengagungan Allah swt dalam qalbu, lisan, fikiran dan perilaku. Dalam setiap kesempatan dan kondisi Rasulullah saw selalu berdzikir dan mengagungkan Allah swt, sehingga inilah rahasia do’a Nabi saw ketika kelur dari buang hajat: “Ghufranaka: Aku mohon ampunan-Mu Ya Allah.”. Hasil penelitian para ahli hadits menyimpulkan bahwa Rasulullah saw tidak pernah meninggalkan dzikir dan pengagungan Allah swt, namun karena tidak diperkenankannya berdzikir di saat buang hajat, maka ungkapan pertama saat keluar dari buang hajat adalah, mohon ampun karena beliau tidak melakukan dzikir pada saat buang hajat.

Dengan sikap inilah, ma’iyatullah –kebersamaan Allah- dalam bentuk pertolongan-Nya selalu datang pada saat dibutuhkan. Inilah rahasia dikumandangkannya kalimat takbir “Allahu Akbar wa lilLahil Hamd, Allah Maha Besar dan bagi-Nya segala pujian”.

Bekal kedua, Bersihkan Hati.

Dalam upaya mengagungkan Allah swt dalam setiap kesempatan, maka dibutuhkan hati yang bersih dan jiwa yang suci. Hati adalah panglima dalam tubuh seorang manusia. Jika panglima itu baik, sudah barang tentu tentaranya akan menjadi baik, sebaliknya jika panglima buruk, maka buruklah semua tentaranya.

Mayoritas ahli tafsir sepakat bahwa perintah mensucikan pakaian disini kinayah atau kiasan, bukan makna dzahir. Artinya perintah pembersihan hati dan pensucian jiwa. Penampilan fisik tidak akan berarti, apabila apa yang dibalik fisik itu busuk.

Hati senantiasa dijaga kefitrahannya dan dibersihkan dari beragam penyakit hati, seperti sombong, iri, riya, adu domba, meremehkan orang, dan yang paling berbahaya adalah syirik, menyekutukan Allah swt dengan makhluk-Nya.

“…..dan (ingatlah) peperangan Hunain, yaitu di waktu kamu menjadi congkak karena banyaknya jumlah, maka jumlah yang banyak itu tidak memberi manfaat kepada kamu sedikitpun….” (QS. At Taubah : 25-26).

Bekal ketiga, Jahui Maksiat.

Agar keagungan Allah swt menghiasi diri, maka diri harus menjauhkan dari dosa dan maksiat. Begitu pun sebaliknya, meninggalkan maksiat akan mewariskan ma’iyyatullah.

Allah swt hanya akan turut campur kepada orang beriman dengan menurunkan pertolongan-Nya, jika orang beriman itu dekat dan taat kepada-Nya. Sebaliknya jika mereka berbuat maksiat dan dosa, maka apa bedanya mereka dengan orang lain? Bedanya orang lain lebih canggih perlengkapannya dan lebih besar jumlahnya. Sehingga secara hitungan rasio manusiawi orang lain mampu mengalahkan orang beriman.

Ada kisah menarik, dalam sebuah peperangan melawan kaum kuffar, kaum muslimin beberapa kali mengalami kekalahan. Sang panglima segera mengevaluasi pasukannya, mengapa kekalahan demi kekalahan bisa terjadi? Tak ada yang kurang. Semua perlengkapan lengkap, pun ibadah-ibadah dilakukan dengan baik. Namun saat pagi menjelang, sang panglima mengamati pasukannya dan baru menyadari bahwa ternyata pasukannya melupakan satu sunah Rasul, yaitu bersiwak! Panglima segera memerintahkan menggosok gigi dengan siwak (sejenis kayu) kepada seluruh pasukannya. Pasukan pengintai dari pihak musuh menjadi takut karena melihat para tentara muslim tengah menggosok-gosok giginya dengan kayu, dan mengira pasukan kaum muslimin tengah menajamkan gigi-giginya untuk menyerang musuh. Pihak musuh menjadi gentar dan segera menarik mundur pasukannya.

Sepele, lupa bersiwak, namun besar dampaknya. Inilah rahasia pertolongan Allah swt.

Bekal keempat, Ikhlaskan dalam Berjuang.

Hidup seorang mukmin adalah untuk prestasi amal dan kontribusi manfaat untuk umat manusia. Kesemuanya itu dilakukan semata-mata dilandasi mencari keredloan Allah swt semata. Balasan Allah swt jauh lebih baik dan lebih mulya, dibandingkan dengan kemewahan dunia berikut kemegahannya. Seorang mukmin akan selalu mengejar mimpinya, yaitu keridloan Allah swt, di dunia dan di akhirat kelak.

Menarik disini seruan Allah swt dalam bentuk ”larangan”, sedangkan yang lainya menggunakan bentuk ”perintah”. ”Jangan kamu memberi untuk mengharapkan mendapat imbalan yang lebih”. Artinya, peringatan keras dari Allah swt agar manusia senantiasa mengikhlaskan amal perbuatan dan perjuangan. Tidak merasa paling berjasa dan juga tidak meremehkan andil orang lain.

Bekal kelima, Sabar Di Jalan Allah.

Sabar dalam kesunyian pengikut, sabar dalam penolakan ajakan, sabar dalam kekalahan, dan sabar dalam kemenangan dan kemewahan.

Ketika Rasulullah saw mengetahui kondisi keluarga sahabatnya, Yasir yang mendapat siksaan berat dan pembunuhan keji, Rasulullah saw langsung memberi kabar gembira kepada mereka :“Sabar wahai keluarga Yasir, Sungguh surga buat kalian kelak!.”

Sabar dalam berdakwah mencakup segala hal yang positif, seperti banyak ide, solusi, perencanaan, kerja keras, kerja sama, pendelegasian, pemanfaatan sarana dan adanya evaluasi. Sabar bukan dikonotasikan negatif seperti pasrah, nerimo, malas, menunggu dan tidak berusaha.

Dengan bekalan itu terbukti dalam sejarah, Rasulullah saw mampu melewati dua masa sulit sekaligus: Masa sulit mendapatkan tawaran kemewahan, jabatan, pengikut, bahkan wanita. Dan masa sulit tatkala beliau harus berdarah-darah menerima pengkroyokan dan penganiayaan dari kaumnya.

“Cukuplah Allah menjadi penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik Pelindung”. Inilah bekalan bagi penyeru kebajikan dan penerus perubahan dari masa ke masa. Wallahu A’lam bish Showab.