Istri
Bukan Pembantu
Assalamu 'alaikum warahmatullahi
wabarakatuh
Saya adalah seorang ibu yg pernah
mengikuti tausiyah Ustadz ketika mengisi safari Ramadhan di Qatar.
Mudah2an Ustadz masih ingat materi "memuliakan istri", ketika itu
ustadz menjelaskan kewajiban suami dalam hal nafkah, istri tdk
berkewajiban memasak, mencuci, menyetrika dll, (pekerjaan Rmh Tangga), dan dibolehkan
meminta hak atas materi kpd suami utk keperluan pribadinya. Apa yg ustadz
sampaikan menuai pro kontra diantara kami, apalagi saat itu ustadz tidak secara
gamblang menyertakan hadits/ayat Qur'an yg mendasarinya. Pertanyaan saya :
1. Tolong jelaskan hadits/ayat ttg
hal tsb diatas, yang rinci ya ustadz.
2. Apakah hal tsb diatas merupakan
khilafiyah, diantara para ulama, kalo ya, tolong juga disertakan pendapat2
ulama lainnya.
3. Dalam terjemahan khutbah
terakhir Nabi Muhammad SAW, pada saat wukuf diarafah, disebutkan" ...dan
berikanlah istrimu makanan dan pakain yang layak," secara bhs Arab samakah
arti makanan dan bahan makanan, saya mempunyai persepsi hal itu berbeda, krn
makanan adalah siap makan, sedangkan bahan makanan adalah siap olah, tetapi
saya ragu, karena ini terjemahan, khawatirnya saya salah persepsi.
Terima kasih atas jawabannya, semoga
masalah ini menjadi lebih jelas dan kami senantiasa diberi hidayah utk
senantiasa ridho dg ketetapan Allah. Amin
Wassalamu 'alaikum warahmatullahi
wabarakatuh
Widia
Jawaban
Assalamu 'alaikum warahmatullahi
wabarakatuh,
Apa kabar ibu-ibu sekalian, semoga sehat-sehat ya. Saya mengucapkan terima
kasih yang sebesarnya-besarnya atas semua yang telah disiapkan oleh ibu-ibu di
Doha Qatar dan di kota-kota lainnya, dalam kesempatan ber-Ramadhan selama saya
disana. Semoga Allah SWT membalas semua kebaikan ibu-ibu. Dan saya mohon maaf
kalau ada hal-hal yang sekiranya kurang berkenan di hati dan juga merepotkan.
Tentang materi 'memuliakan istri' itu, memang saya mendengar bahwa sempat para
bapak komplain, ya. Karena ternyata 'kenikmatan' para bapak selama ini jadi
seperti agak dipertanyakan dasarnya.
Sebenarnya bahwa seorang wanita tidak wajib memberi nafkah, baik makanan,
minuman, pakaian dan juga tempat tinggal, bukan hal yang aneh lagi. Semua ulama
sudah tahu sejak kenal Islam pertama kali. Dan pemandangan itu juga pasti
ibu-ibu lihat di Qatar kan. Coba, ibu bisa lihat di pasar dan supermarket di
Doha, yang belanja itu bapak-bapak kan? Bukan ibu-ibu, ya?
Nah itu saja sudah jelas kok, bahwa kewajiban memberi makan adalah bagian dari
kewajiban memberi nafkah. Dan yang keluar belanja mengadakan kebutuhan rumah
sehari-hari yang para suami, bukan para istri. Ibu-ibu kan lihat sendiri di
Doha.
Saya sendiri selama di Doha diajak masuk ke tiga mal besar, salah satunya saya
masih ingat, Belagio. Nah, saat saya di dalam ketiga mal itu, umumnya saya
ketemu dengan laki-laki. Perempuan sih ada, tapi biasanya sama suaminya. Jadi
yang belanja kebutuhan sehari-hari bukan ibu, tapi bapak.
Bahkan pertemuan wali murid di sekolah di Doha pun, bukan ibu-ibu yang hadir,
tapi bapak-bapaknya. Ini juga menarik, sebab kebiasaan kita di Indonesia, kalau
ada pertemuan orang tua / wali murid, yang datang pasti ibu-ibu. Bapak-bapaknya
tidak harus dengan alasan pada kerja. Tapi di Doha, yang datang bapak-bapak dan
meetingnya dilakukan malam hari, selepas bapak-bapak pulang kerja.
Mana Ayat Quran atau Haditsnya?
Ya, terus terang tidak ada ayat yang menjelaskan sedetail itu, begitu juga
dengan hadits nabawi. Maksudnya, kita akan menemukan ayat yang bunyinya bahwa
yang wajib masak adalah para suami, yang wajib mencuci pakaian, menjemur,
menyetrika, melipat baju adalah para suami.
Kita tidak akan menemukan hadits yang bunyinya bahwa kewajiban masak itu ada di
tangan suami. Kita tidak akan menemukan aturan seperti itu secara eksplisit.
Yang kita temukan adalah contoh real dari kehidupan Nabi SAW dan juga para
shahabat. Sayangnya, memang tidak ada dalil yang bersifat eksplisit. Semua
dalil bisa ditarik kesimpulannya dengan cara yang berbeda.
Misalnya tentang Fatimah puteri Rasulullah SAW yang bekerja tanpa pembantu.
Sering kali kisah ini dijadikan hujjah kalangan yang mewajibkan wanita bekerja
berkhidmat kepada suaminya. Namun ada banyak kajian menarik tentang kisah ini dan
tidak semata-mata begitu saja bisa dijadikan dasar kewajiban wanita bekerja
untuk suaminya.
Sebaliknya, Asma' binti Abu Bakar justru diberi pembantu rumah tangga. Dalam
hal ini, suami Asma' memang tidak mampu menyediakan pembantu, dan oleh kebaikan
sang mertua, Abu Bakar, kewajiban suami itu ditangani oleh sang pembantu. Asma'
memang wanita darah biru dari kalangan Bani Quraisy.
Dan ada juga kisah lain, yaitu kisah Saad bin Amir radhiyallahu 'anhu,
pria yang diangkat oleh Khalifah Umar menjadi gubernur di kota Himsh. Sang
gubernur ketika di komplain penduduk Himsh gara-gara sering telat ngantor,
beralasan bahwa dirinya tidak punya pembantu. Tidak ada orang yang bisa
disuruh untuk memasak buat istrinya, atau mencuci baju istrinya.
Loh, kok kebalik? Kok bukan istrinya yang masak dan mencuci?. Nah itulah,
ternyata yang berkewajiban memasak dan mencuci baju memang bukan istri, tapi
suami. Karena semua itu bagian dari nafkah yang wajib diberikan suami kepada
istri. Sebagaimana firman Allah SWT :
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى
النِّسَاء بِمَا فَضَّلَ اللّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنفَقُواْ مِنْ
أَمْوَالِهِمْ
Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah
melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita),
dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta
mereka. (QS. An-Nisa' : 34)
Pendapat 5 Mazhab Fiqih
Namun apa yang saya sampaikan itu tidak lain merupakan kesimpulan dari para
ulama besar, levelnya sampai mujtahid mutlak. Dan kalau kita telusuri dalam
kitab-kitab fiqih mereka, sangat menarik.
Ternyata 4 mazhab besar plus satu mazhab lagi yaitu mazhab Dzahihiri semua
sepakat mengatakan bahwa para istri pada hakikatnya tidak punya kewajiban untuk
berkhidmat kepada suaminya.
1. Mazhab al-Hanafi
Al-Imam Al-Kasani dalam kitab Al-Badai' menyebutkan : Seandainya suami pulang
bawa bahan pangan yang masih harus dimasak dan diolah, lalu istrinya enggan
unutk memasak dan mengolahnya, maka istri itu tidak boleh dipaksa. Suaminya
diperintahkan untuk pulang membaca makanan yang siap santap.
Di dalam kitab Al-Fatawa Al-Hindiyah fi Fiqhil Hanafiyah disebutkan :
Seandainya seorang istri berkata,"Saya tidak mau masak dan membuat
roti", maka istri itu tidak boleh dipaksa untuk melakukannya. Dan suami
harus memberinya makanan siap santan, atau menyediakan pembantu untuk memasak
makanan.
2. Mazhab Maliki
Di dalam kitab Asy-syarhul Kabir oleh Ad-Dardir, ada disebutkan : wajib atas
suami berkhidmat (melayani) istrinya. Meski suami memiliki keluasan rejeki
sementara istrinya punya kemampuan untuk berkhidmat, namun tetap kewajiban
istri bukan berkhidmat. Suami adalah pihak yang wajib berkhidmat. Maka wajib
atas suami untuk menyediakan pembantu buat istrinya.
3. Mazhab As-Syafi'i
Di dalam kitab Al-Majmu' Syarah Al-Muhadzdzab karya Abu Ishaq Asy-Syirazi
rahimahullah, ada disebutkan : Tidak wajib atas istri berkhidmat untuk membuat
roti, memasak, mencuci dan bentuk khidmat lainnya, karena yang ditetapkan
(dalam pernikahan) adalah kewajiban untuk memberi pelayanan seksual (istimta'),
sedangkan pelayanan lainnya tidak termasuk kewajiban.
4. Mazhab Hanabilah
Seorang istri tidak diwajibkan untuk berkhidmat kepada suaminya, baik berupa
mengadoni bahan makanan, membuat roti, memasak, dan yang sejenisnya, termasuk
menyapu rumah, menimba air di sumur. Ini merupakan nash Imam Ahmad
rahimahullah. Karena aqadnya hanya kewajiban pelayanan seksual. Maka pelayanan
dalam bentuk lain tidak wajib dilakukan oleh istri, seperti memberi minum kuda
atau memanen tanamannya.
5. Mazhab Az-Zhahiri
Dalam mazhab yang dipelopori oleh Daud Adz-Dzahiri ini, kita juga menemukan
pendapat para ulamanya yang tegas menyatakan bahwa tidak ada kewajiban bagi
istri untuk mengadoni, membuat roti, memasak dan khidmat lain yang sejenisnya,
walau pun suaminya anak khalifah.
Suaminya itu tetap wajib menyediakan orang yang bisa menyiapkan bagi istrinya
makanan dan minuman yang siap santap, baik untuk makan pagi maupun makan malam.
Serta wajib menyediakan pelayan (pembantu) yang bekerja menyapu dan menyiapkan
tempat tidur.
Pendapat Yang Berbeda
Namun kalau kita baca kitab Fiqih Kontemporer Dr. Yusuf Al-Qaradawi, beliau
agak kurang setuju dengan pendapat jumhur ulama ini. Beliau cenderung tetap
mengatakan bahwa wanita wajib berkihdmat di luar urusan seks kepada suaminya.
Dalam pandangan beliau, wanita wajib memasak, menyapu, mengepel dan
membersihkan rumah. Karena semua itu adalah imbal balik dari nafkah yang
diberikan suami kepada mereka.
Kita bisa mafhum dengan pendapat Syeikh yang tinggal di Doha Qatar ini, namun
satu hal yang juga jangan dilupakan, beliau tetap mewajibkan suami memberi
nafkah kepada istrinya, di luar urusan kepentingan rumah tangga.
Jadi para istri harus digaji dengan nilai yang pasti oleh suaminya. Karena
Allah SWT berfirman bahwa suami itu memberi nafkah kepada istrinya. Dan memberi
nafkah itu artinya bukan sekedar membiayai keperluan rumah tangga, tapi lebih
dari itu, para suami harus 'menggaji' para istri. Dan uang gaji itu harus di
luar semua biaya kebutuhan rumah tangga.
Yang sering kali terjadi memang aneh, suami menyerahkan gajinya kepada istri,
lalu semua kewajiban suami harus dibayarkan istri dari gaji itu. Kalau masih
ada sisanya, tetap saja itu bukan lantas jadi hak istri. Dan lebih celaka,
kalau kurang, istri yang harus berpikir tujuh keliling untuk mengatasinya.
Jadi pendapat Syeikh Al-Qaradawi itu bisa saja kita terima, asalkan istri juga
harus dapat 'jatah gaji' yang pasti dari suami, di luar urusan kebutuhan rumah
tangga.
Perempuan Dalam Islam Tidak Butuh Gerakan Pembebasan
Kalau kita dalami kajian ini dengan benar, ternyata Islam sangat memberikan
ruang kepada wanita untuk bisa menikmati hidupnya. Sehingga tidak ada alasan
buat para wanita muslimah untuk latah ikut-ikutan dengan gerakan wanita di
barat, yang masih primitif karena hak-hak wanita disana masih saja dikekang.
Islam sudah sejak 14 abad yang lalu memposisikan istri sebagai makhuk yang
harus dihargai, diberi, dimanjakan bahkan digaji. Seorang istri di rumah bukan
pembantu yang bisa disuruh-suruh seenaknya. Mereka juga bukan jongos yang
kerjanya apa saja mulai dari masak, bersih-bersih, mencuci, menyetrika,
mengepel, mengantar anak ke sekolah, bekerja dari mata melek di pagi hari,
terus tidak berhenti bekerja sampai larut malam, itu pun masih harus melayani
suami di ranjang, saat badannya sudah kelelahan.
Kalau pun saat ini ibu-ibu melakukannya, niatkan ibadah dan jangan lupa,
lakukan dengan ikhlas. Walau sebenarnya itu bukan kewajiban. Semoga Allah SWT
memberikan pahala yang teramat besar buat para ibu sekalian. Dan semoga
suami-suami ibu bisa lebih banyak lagi mengaji dan belajar agama Islam.
Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,